Indonesia Aman dari Pengenaan Tindakan Safeguard Fastener di Afrika Selatan
Jakarta, 14 Agustus 2020 – Indonesia memperoleh pengecualian dari pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (safeguard) oleh Afrika Selatan (Afsel) atas produk threaded fasteners of iron or steel: bolt ends & screw studs, screw studding and other hexagon nuts (fastener). Fastener adalah sebutan lain baut pengencang, benda dengan ukuran kecil namun sangat penting dalam struktur sebuah bangunan.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengungkapkan, penyelidikan pada 2019 oleh Otoritas Afsel atas produk fastener impor baru saja rampung dan menempatkan Indonesia dalam daftar yang dikecualikan dari pengenaan safeguard.
“Afsel sangat terusik dengan banjirnya produk dari Tiongkok. Karena itu, mereka gencar melindungi industri dalam negerinya melalui safeguard. Namun demikian, kita tentu tidak tinggal diam dan mengupayakan Indonesia lolos dari pengenaan safeguard,” ujar Mendag.
Tiap tahun sejak 2018, Afsel tidak pernah absen dalam penyelidikan safeguard produk fastener, masing-masing dengan cakupan HS yang berbeda. Sejak 1 Maret 2019, International Trade Administration Commission of South Africa (ITAC) selaku Otoritas Pengamanan Perdagangan Afsel melakukan penyelidikan atas permohonan South Africa Iron and Steel Institute (Petisioner). Penyelidikan tersebut berlangsung selama 17 bulan dan telah selesai dilakukan.
Dalam laporannya, ITAC menemukan semua prasyarat pengenaan safeguard berupa lonjakan impor, kerugian material industri domestik, dan hubungan sebab akibat di antara keduanya. ITAC memutuskan memberlakukan safeguard berupa ad valorem duty selama tiga tahun. Afsel mengenakan bea masuk safeguard selama tiga tahun terhitung mulai 24 Juli 2020. Sesuai ketentuan WTO, tarif akan diliberalisasi memasuki tahun kedua dan tahun ketiga. Tarif tahun pertama ditetapkan sebesar 54,04 persen; lalu diliberalisasi menjadi 52,04 persen di tahun kedua; dan 50,04 persen pada tahun ketiga.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi menjelaskan, pada awal penyelidikan, Indonesia ingin memastikan mendapat keistimewaan negara berkembang yang pangsa impornya di Afsel kurang dari 3 persen.
“Sementara ini kita sudah mendapatkan apa yang kita minta ke Otoritas Afsel, tapi harus diwaspadai karena pengecualian Indonesia tidak permanen. Afsel akan terus mengamati pergerakan impornya. Indonesia bisa langsung dikenakan bea masuk safeguard jika dalam periode pengenaan terjadi lonjakan tajam impor dari Indonesia melampaui ambang batas 3 persen,” terang Didi.
“Kita sudah hitung pangsa pasar kita di sana kurang dari 3 persen. Pada saat itu kita langsung meminta kepada Afsel supaya Indonesia dikecualikan dari pengenaan bea masuk safeguard jika penyelidikan ini selesai,” tutur Pradnyawati.
Ekspor fastener Indonesia ke Afsel cukup stagnan dan cenderung turun. Pada 2017 nilai ekspornya mencapai USD 766 ribu, lalu pada 2018 turun menjadi USD 622 ribu, dan pada 2019 kembali meningkat menjadi USD 758 ribu. Sedangkan, nilai ekspor pada paruh pertama 2020 hanya mencapai USD 281 ribu, jauh di bawah nilai ekspor periode yang sama pada 2019 yang sebesar USD 407 ribu.
Dengan dikecualikannya Indonesia dari pengenaan tindakan safeguard ini, maka akses ekspor semakin terbuka bagi Indonesia karena negara-negara pemasok utama Afsel seperti Tiongkok, India, dan Jerman menjadi tidak kompetitif akibat tambahan bea masuk safeguard. Pemerintah Indonesia juga telah menyampaikan hasil ini ke perusahaan dan Asosiasi Fastener Indonesia agar dapat memanfaatkan peluang ekspor ini dengan sebaik-baiknya.
“Selama ini penjualan kita stagnan karena dominasi Tiongkok. Sekarang kita harus ambil peluang. Jika Tiongkok dan negara-negara eksportir utama fastener berhasil dibendung, maka Indonesia akan diuntungkan walaupun harus tetap berhati-hati dengan ambang batas 3 persen,” pungkas Pradnyawati.