January
14
2019
     11:34

Pembatasan Hak Akses Rekaman Telekomunikasi Wujud Pengakuan dan Perlindungan Hak Pribadi

Pembatasan Hak Akses Rekaman Telekomunikasi Wujud Pengakuan dan Perlindungan Hak Pribadi

"Sekurang-kurangnya tiga bulan terakhir terhitung sejak diterimanya surat permintaan tertulis, berupa call data record (cdr) antara lain meliputi data jumlah dan waktu incoming dan outgoing call, short message service (sms), tagihan (billing) dan routing yang mana rekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi tersebut tidak berbentuk rekaman percakapan,” tandas Ramli.

Menurut Dirjen PPI, permintaan rekaman informasi meski menjadi hak pribadi pengguna jasa telekomunikasi yang wajib dilindungi, tetapi ada pengecualian kepada aparat penegak hukum.

"UU Telekomunikasi mengatur pengecualian atas perlindungan hak pribadi tersebut dengan memberikan ruang bagi APH untuk memperoleh rekaman informasi yang bersifat pribadi tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan a quo UU Telekomunikasi dan ketentuan-ketentuan mengenai perolehan alat bukti elektronik oleh APH dalam peraturan perundang-undangan lainnya," jelas Ramli.

Antisipasi Dampak

Permohonan yang dilakukan oleh Sadikin Arifin dinilai Pemerintah bertentangan dengan peraturan yang lain. "Terkait dengan rekaman percakapan dan transkrip percakapan, keduanya merupakan alat bukti elektronik yang secara asas lex specialis pengaturannya tunduk pada ketentuan UU ITE khususnya ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 44 huruf b UU ITE," jelas Ramli.

Jika permintaan pemohon disetujui, menurut keterangan Pemerintah, akan berpotensi menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara telekomunikasi. "Utamanya perlindungan terhadap pengguna jasa telekomunikasi atas rekaman informasi berupa percakapan dan pesan singkat yang merupakan data pribadi," tutur Ramli.

Dari sisi hukum, Dirjen Ramli menjelaskan akan dapat merusak tatanan hukum baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan peraturan perundang-undangan sektoral maupun yurisprudensi yang memberikan ketentuan terkait perekaman informasi /penyadapan dan pembuktian.

"Pemohon menginginkan penafsiran Pasal 42 ayat (2) dimaksud serta merta memberikan kewenangan baginya untuk memperoleh informasi perekaman percakapan, jika hal ini dikabulkan dapat merusak tatanan hukum baik yang diatur dalam KUHAP, dan peraturan perundang-undangan sektoral maupun yurisprudensi," jelasnya.

Terhadap uji materiil yang diajukan, mewakili pemerintah Dirjen PPI memohon kepada majelis hakim untuk menolak pengujian itu. "Untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," ujar Ramli.

Selain itu, pemerintah memohon agar ada pernyataan majelis hakim mengenai ketentuan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

"Kami memohon majelis menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya," papar Ramli.

 

Halaman   1 2 Show All

Release Terkini

No Release Found

Terpopuler


2024 © Kontan.co.id A subsidiary of KG Media. All Rights Reserved