Membangun Industri Dalam Negeri yang Mandiri, Berdaulat, Maju, Berkeadilan dan Inklusif
Pada krisis 1997, pertumbuhan industri pengolahan bahkan minus 13 persen. Semenjak itu, rata-rata pertumbuhan industri selalu di bawah 6 persen dengan pertumbuhan rata-rata per lima tahun berkisar di angka 5 persen.
Tahun 2019 dan 2020 merupakan tahun penuh tekanan khususnya bagi sektor industri manufaktur. Berbagai tekanan menyebabkan turunnya pertumbuhan industri manufaktur ke posisi 4,34 persen di tahun 2019 dan minus 2,52 persen di tahun 2020. Pemicunya adalah perang dagang antara AS dan Tiongkok dan pandemi Covid-19.
Perang dagang antara AS-Tiongkok menciptakan efek berantai di mana setiap negara meningkatkan proteksi perdagangansehingga tercipta kembali high cost economy dalam sistem perdagangan dunia.Di samping itu, sisi supply juga terganggu. Tiongkok sebagai penguasa pasar ekspor dunia berusaha mencari pasar baru untuk produk barang dan jasa mereka yang tidak bisa masuk ke AS.
Meluapnya pasokan menekan sektor industri manufaktur di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.Dari segi keuangan, para investor melakukan aksi wait and see sehingga berdampak pada ketidakpastian dan kelesuan.
Pandemi Covid-19 memberikan tekanan hebat kepada sektor industri dari dua sisi, sisi supply dan sisi demand. Sisi supply terganggu akibat terhambatnya rantai pasok global (supply shock). Sementara sisi demand terganggu utamanya akibat menurunnya daya beli masyarakat. Banyak industri manufaktur yang memutuskan mengurangi utilitas -bahkan menghentikan- produksinya.
Pelambatan pertumbuhan industri manufaktur sebagaimana dipaparkan di atas membuat beberapa kalangan berpendapat bahwa sedang terjadi -atau setidaknya sudah ada gejala- deindustrialisasi di Indonesia. Nampaknya tidak demikian. Suatu negara dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi manakala terjadi pertumbuhan negatif secara berturut-turut dalam kurun waktu yang cukup lama.
Realitanya, sektor industri pengolahan di Indonesia selalu menunjukkan pertumbuhan yang positif dan selalu menjadi motor penggerak perekonomian nasional.
Pertumbuhan negatif hanya terjadi sebanyak dua kali -akibat kejadian luar biasa-, yaitu minus 11,5 persen akibat dampak krisis 1997 dan minus 2,93 persen pada tahun 2020 akibat dampak pandemi Covid-19. Meski demikian, pada tahun berikutnya sektor industri pengolahan kembali tumbuh positif. Di Triwulan II Tahun 2021 pertumbuhan industri manufaktur rebound ke level positif di angka 6,91 persen.
Di samping itu, angka absolut kontribusi sektor industri pengolahan dalam PDB secara umum meningkat meski secara persentasenya terhadap PDB menurun. Ini sejalan dengan kontribusi ekspor sektor industri manufaktur dalam ekspor nasional dan nilai investasi di sektor industri manufaktur yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Kontribusi ekspor sektor industri dalam ekspor nasional pada tahun 2020 tercatat sebesar 80,3 persen, dan pada Januari-Juni 2021 tercatat sebesar 78,80% yang mendorong surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$8,22 miliar. Investasi di sektor industri pun terhitung terus meningkat naik sejak tahun 2020 dan pada periode Januari-Juni 2021 kemarin tercatat sebesar Rp. 167,1 triliun atau naik 29 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2019.
Masalah Utama dan Upaya Penyelesaian
Meski terbantahkan, kekhawatiran akan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia sepatutnya dijadikan alarm bahwa banyak hal harus dibenahi agar sektor industri pengolahan mampu berkembang dan berperan secara berkelanjutan bagi perekonomian nasional. Pengalaman di masa lalu memberikan pelajaran, bahwa pertumbuhan yang tinggi saja tidak membuat ekonomi menjadi kokoh, tidak menjadikan industri manufaktur menjadi kuat. Ada unsur yang mesti menjadi pedoman dalam membangun perekonomian, terlebih khusus industri manufaktur, yaitu kemandirian. Pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pertumbuhan industri manufakur yang sangat pesat di masa lalu kerap kali membuat kita lupa bahwa struktur industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya luar (impor). Ini tercermin dari struktur impor Indonesia yang sejak tahun 1981 hingga kini masih sangat didominasi oleh impor bahan baku dan penolong dan barang modal.
Perkembangan industri dan peningkatan ekspor tidak akan optimal manfaatnya jika selalu diikuti dengan meningkatnya impor. Bahkan dalam skala tertentu, peningkatan impor barang modal serta bahan baku dan bahan penolong justru membuat rapuh ketahanan industri manufaktur. Manakala harga barang import meningkat, atau saat pasokan tersendat atau bahkan terhenti akibat suatu peristiwa -seperti pandemi yang kita alami saat ini-industri manufaktur menjadi limbung dan bahkan mendekati kematian.
Pandemi Covid-19 membuka mata kita untuk melihat banyak hal. Antara lain masih banyak celah kosong di sisi supply chain dalam struktur industri manufaktur Indonesia. Sektor farmasi menjadi contoh aktual. Ketergantungan terhadap impor bahan baku termasuk jenis obat untuk terapi Covid-19 –ditambah dengan faktor panic buying oleh masyarakat- membuat obat terapi Covid-19 sempat menjadi barang langka dan berharga mahal. Kita mesti bersaing dalam impor bahan baku obat dan obat jadi dengan banyak negara yang sama-sama membutuhkan.
Dengan keanekaragaman hayatidan sumber daya manusia yang dimiliki, Indonesia semestinya bisa mengembangkan industri yang kuat di sektor farmasi dan alat kesehatan.Kita mampu untuk itu. Kita sudah mengembangkan dan memproduksi beberapa obat modern asli Indonesia (OMAI) yang telah digunakan di beberapa negara di Eropa.
Kita juga sudah mampu membuat ventilator dan generator/ konsentrator oksigen dalam negeri. Prototipenya sudah ada dan kini tengah menunggu hasil uji klinis untuk bisa diproduksi secara massal. Jika alat-alat kesehatan tersebut sudah bisa diproduksi, maka kemandirian industri alat kesehatan dan sektor kesehatan kita akan semakin kuat.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor -sekaligus mendorong penguatan struktur industri manufaktur-, Kemenperin telah mengeluarkan kebijakan Substitusi Impor 35% pada tahun 2022 dengan prioritas pada industri-industri dengan nilai impor yang besar pada tahun 2019 seperti mesin, kimia, logam, elektronika, makanan, peralatan listrik, tekstil, kendaraan bermotor, barang logam, serta karet dan bahan dari karet.
Strategi yang ditempuh adalah dengan menurunkan impor guna merangsang pertumbuhan industri substitusi impor dalam negeri, peningkatan utilitas industri domestik, dan peningkatan investasi untuk produksi barang-barang substitusi impor.
Strategi lain adalah optimalisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri melalui penetapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen. Penetapan TKDN dimaksudkan untuk mendorong agar semua produk yang dihasilkan industri dalam negeri dapat diserap dalam proyek pengadaan barang/jasa di dalam negeri, baik melalui APBN maupun anggaran BUMN/ BUMD. Kebijakan ini merupakan wujud keberpihakan terhadap produk dalam negeri dan langkah pengawalan terhadap keberlangsungan industri dalam negeri.
Semua negara pasti menggunakan berbagai instrumen untuk melindungi industrinya, membentengi sektorproduksinya, serta menjaga tenaga kerja dan warganya.Keberpihakan dan dukungan pengamanan ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk berkembang dan meningkatkan daya saing sampai mereka mapan dan mampu bertarung di persaingan global. Jika tidak, impor semakin akan merajalela dan industri dalam negeri tidak akan pernah bisa berdaulat di wilayahnya sendiri.
Kemandirian dan kedaulatan industri dalam negeri juga harus didukung atau ditopang dengan perubahan mindset dan perilaku. Dari sisi pelaku usaha, mentalitas “serba instan” dan “tidak mau repot” membuat praktik impor menjadi budaya ketergantungan dalam praktik pembangunan kita. Pencerahan dan dorongan perlu diberikan agar ada transformasi pelaku usaha dari semula pedagang menjadi industrialis, dari berorientasi impor menjadi berorientasi produksi.
Dari sisi masyarakat, dampak globalisasi dan kemajuan teknologi telah menciptakan budaya konsumtif dan membuka luas akses masyarakat terhadap produk-produk impor. Edukasi dan pemberdayaan perlu digalakkan agar tumbuh watak kewirausahaan di tengah masyarakat sehingga mereka memiliki minat untuk masuk ke sektor industri pengolahan, melalui kewirausahaan baru atau industri kecil.
Di samping itu, edukasi dan kampanye juga diperkuat untuk menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan masyarakat terhadap produk-produk dalam negeri. Masyarakat mesti disadarkan bahwa mendahulukan penggunaan produksi dalam negeri adalah perbuatan yang terpuji dan patriotik. Dalam tujuan itu, pemerintah telah meluncurkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
Pendalaman struktur industri manufaktur Indonesia juga didorong melalui kebijakan hilirisasiberbasis sektor primer. Hilirisasi juga bermanfaat dalam meningkatkan nilai tambah terhadap perekonomian, peningkatan investasi dalam negeri, pembukaan lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri. Kita tidak boleh berpuas diri sebagai eksportir hasil bumi baik dari pertanian maupun pertambangan.
Dengan sumber daya alam yang berlimpah, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk menjadi negara eksportir berbagai produk berbasis agro, mineral, migas, dan batubara. Di sektor industri agro, sebagai contoh Indonesia berhasil melakukan hilirisasi minyak sawit (CPO). Dalam kurun 10 tahun ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat dari 20% pada 2010 ke 80% pada tahun 2020.
Sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, Indonesia dalam empat tahun terakhir telah berhasil meningkatkan nilai ekspor produk hilir rumput laut dari USD 45,7 juta di tahun 2007 ke USD 96,2 juta di tahun 2020. Indonesia juga dikenal sebagai pengolah kakao terbesar ketiga dunia. Dengan kapasitas terpasang sekitar 800 ribu ton per tahun, ekspor produk olahan kakao menyentuh angka USD 1,12 milyar pada tahun 2020.
Hilirisasi di sektor industri petrokimia sangat strategis karena menghasilkan bahan baku primer untuk menopang banyak industri manufaktur penting seperti tekstil, otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi. Pemerintah saat ini tengah mengawal beberapa proyek pembangunan industri petrokimia raksasa -salah satunya di Bintuni, Papua- dengan total nilai investasi sebesar USD 31 miliar.
Sementara di sektor industri mineral logam, saat ini telah terbangun industri stainless steel terintegrasi dari hulu yang menghasilkan produk turunan nikel dengan kapasitas 4 juta ton per tahun. Kapasitas produksi ditargetkan pada tahun 2022 mencapai 6 juta ton per tahun. Pemerintah juga telah membangun fasilitas pengolahan bijih bauksit ke alumina dengan kapasitas produksi 3 juta ton per tahun.
Peningkatan daya saing global industri di Indonesia merupakan agenda penting yang juga menjadi perhatian Pemerintah. Laporan Competitiveness Industrial Performance (CIP) Index Tahun 2020menunjukkan adanya perbaikan peringkat daya saing manufaktur Indonesia yang kini di peringkat 39 dunia.Salah satu faktor penting dalam daya saing industri manufaktur adalah ketersediaan energi.
Dengan keragaman sumber energi yang dimiliki, Indonesia mestinya tidak dihadapkan pada permasalahan energi. Faktanya, akses industri ke energi yang masih rendah.