January
17
2025
     17:03

Pengusaha Industri Smelter Nikel Nyatakan Sikap atas Kebijakan PP Devisa Hasil Ekspor

Pengusaha Industri Smelter Nikel Nyatakan Sikap atas Kebijakan PP Devisa Hasil Ekspor
ILUSTRASI. Foto udara industri pengolahan (smelter) nikel di kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, Minggu (7/7/2024). IWIP merupakan kawasan industri terpadu pertambangan dan pengolahan berbasis nikel dengan tenaga kerjanya didominasi oleh pekerja lokal asal Maluku Utara yakni 70.000 orang dan ditargetkan pada tahun 2027 serapan tenaga kerja mencapai 100.000 orang. ANTARA FOTO/Andri Saputra/YU

Sumber: Pressrelease.id | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Kebijakan terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (SDA) tengah menjadi topik perdebatan, terutama di kalangan pelaku industri nikel.

Dalam hal ini, para pengusaha industri smelter nikel yang tergabung dalam Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) bersama dengan asosiasi lainnya seperti KADIN, APINDO, APBI, dan IMA dalam pertemuannya dengan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) pada Kamis (16/01) secara tegas menyatakan sikap dan pandangan kritis terhadap kebijakan tersebut.

Meski kebijakan ini dirancang untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan memperkuat perekonomian domestik, banyak pelaku industri khususnya smelter nikel merasa bahwa implementasi peraturan ini memberikan dampak signifikan terhadap industri pengolahan nikel yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan sektor penambangan sehingga dinilai tidak relevan dan terkesan diskriminatif.

Dalam pernyataannya, FINI menegaskan bahwa smelter memiliki peran dan karakteristik yang sangat berbeda dari para penambang. Penambang merupakan pihak yang menerima manfaat langsung dari eksploitasi sumber daya alam melalui penjualan bijih nikel (ore).

Sementara itu, smelter bertindak sebagai pelaku hilirisasi yang harus melakukan proses lanjutan untuk menciptakan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian. Smelter membutuhkan investasi yang besar untuk pembangunan fasilitas pengolahan serta modal kerja untuk operasional. Hal ini mencakup pembelian ore secara tunai, pembayaran energi, dan kebutuhan operasional lainnya sebelum produk olahan diekspor.

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia, Alexander Barus menyatakan bahwa wacana baru soal DHE perlu untuk ditinjau kembali guna mencegah efek domino yang signifikan terhadap berbagai aspek perekonomian dan industri smelter nikel. Dirinya menilai bahwa peraturan tersebut tidak relevan dan peraturan yang berlaku saat ini tidak perlu diubah karena masih dalam tingkat yang dapat dikendalikan.

“FINI mengusulkan agar kebijakan tentang DHE yang berlaku saat ini tidak diubah, meskipun berat tetapi masih dalam tingkat managable. Di samping itu, prinsip konsistensi dan kepastian aturan perlu kita lembagakan agar para pengusaha dan investor dapat bertumpu kepada dukungan pemerintah yang solid dalam ruang kepastian,” ungkapnya.

Kebijakan ini juga secara langsung menambah biaya bagi eksportir, khususnya pelaku hilirisasi seperti smelter. FINI menilai bahwa hal ini tidak adil karena beban tambahan ini tidak semestinya dibebankan kepada pihak yang sudah berkontribusi besar melalui proses nilai tambah.

Selain itu, memunculkan kendala dalam akses pembiayaan, tanpa adanya penambahan modal kerja, smelter menghadapi risiko pengurangan produksi, bahkan potensi penghentian operasi. Dengan likuiditas yang semakin ketat akibat kebijakan ini, kapasitas produksi smelter dapat menurun. Jika hal ini terjadi secara meluas, akan berdampak pada hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya kontribusi sektor nikel terhadap perekonomian nasional.

FINI menegaskan komitmennya untuk terus mendukung visi pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah dan hilirisasi sumber daya alam. Namun, wacana kebijakan DHE-SDA tersebut tidak perlu diubah agar tidak menghambat keberlanjutan dan daya saing industri pengolahan nikel di Indonesia. Dengan dialog konstruktif antara pemerintah dan pelaku industri, diharapkan tercipta solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak.

FINI berharap pemerintah mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha dalam memformulasikan kebijakan baru terkait DHE. Dialog antara pemerintah dan industri dinilai krusial untuk mencapai titik temu yang dapat mendukung tujuan nasional tanpa mengorbankan keberlangsungan bisnis.

“Target pertumbuhan ekonomi nasional dan keberlanjutan sektor industri adalah hal yang harus dicapai bersama. FINI siap menjadi mitra pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut,” pungkas Alexander.

Baca Juga: Menteri ESDM Tegaskan Tidak Ada Pemangkasan Produksi Nikel Tahun Ini

Selanjutnya: Cadangan Bitcoin AS Picu Kekhawatiran di Tengah Mendekatnya Pelantikan Trump

Menarik Dibaca: Penggemar Kpop Demo Minta Industri Peduli Dengan Bisnis yang Ramah Lingkungan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Release Terkini


2025 © Kontan.co.id A subsidiary of KG Media. All Rights Reserved