January
21
2025
     14:14

Indonesia Masuk BRICS: Menakar Untung Rugi di Tengah Peta Politik Global

Indonesia Masuk BRICS: Menakar Untung Rugi di Tengah Peta Politik Global
ILUSTRASI. Suasana Diskusi Publik bertajuk “BRICS: Menakar Langkah Indonesia” yang digelar Ikatan Alumni Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (IKAHI Unpad)

Sumber: Pressrelease.id | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Sejak 6 Januari 2025 lalu, Indonesia secara resmi bergabung sebagai anggota ke-10 kelompok ekonomi BRICS, sebuah kelompok ekonomi besar yang memegang peranan penting dalam perekonomian global yang anggota utamanya terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS diperkirakan akan memberikan banyak manfaat bagi Indonesia di bidang ekonomi, perdagangan, stabilitas mata uang, hingga diplomasi internasional. Meskipun demikian, keanggotaan Indonesia di BRICS ini, bukanlah tanpa risiko. Hal ini dibahas sejumlah pakar di dalam diskusi publik bertajuk “BRICS: Menakar Langkah Indonesia” yang digelar Ikatan Alumni Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (IKAHI Unpad) di Jakarta (18/01).

Bicara di diskusi publik itu secara daring, Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Jose Antonio Morato Tavares menjelaskan berbagai manfaat sekaligus tantangan yang dapat diraih Indonesia dari keanggotaan ini, terutama dalam bidang ekonomi dan geopolitik. Menurut Jose, BRICS menawarkan peluang besar untuk memperkuat perdagangan dan pasar Indonesia.

“Saat ini, 62% dari total produksi kelapa sawit Indonesia diimpor oleh negara-negara anggota BRICS. Dengan populasi BRICS yang mencapai 45% populasi dunia—sekitar 900 juta orang—keanggotaan ini memberikan akses pasar yang besar dan memperlancar perdagangan di antara anggotanya,” tutur Jose Antonio Morato Tavares.

Jose juga menyoroti kekuatan ekonomi BRICS yang mencapai 35% dari Produk Domestik Bruto (GDP) dunia berdasarkan purchasing power parity (daya beli masyarakat), lebih tinggi dibandingkan G7 yang hanya 30%. Meski demikian, ia mengingatkan perlunya kewaspadaan menghadapi tantangan ekonomi global yang saat ini lesu.

Dalam konteks geopolitik, Indonesia berpotensi menjadi jembatan penghubung antara BRICS dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang didominasi negara-negara Barat. Indonesia telah melamar menjadi anggota OECD pada 2024, tetapi keanggotaan tersebut belum disetujui. Dengan politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia menekankan bahwa manfaat dari BRICS bersifat ekonomi, tanpa mengubah posisi politiknya.

“Jembatan ini efektif karena posisi politik luar negeri kita yang bebas aktif,” ujar Jose Antonio Morato Tavares.

Siradj Parwito, Asisten Deputi Stabilisasi Harga Kementerian Koordinator Pangan, mendukung langkah Indonesia bergabung ke BRICS. Ia menyebut New Development Bank (NDB)—bank pembangunan milik BRICS—sebagai sumber alternatif pembiayaan untuk proyek-proyek pembangunan Indonesia. “Dana NDB dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek berisiko tinggi yang sulit menarik minat investor swasta, seperti proyek energi geotermal. Kata kuncinya adalah bankable. Dengan pendanaan ini, proyek-proyek kita yang berisiko tinggi bisa direstrukturisasi agar lebih menarik bagi investor,” jelas Siradj yang juga alumni HI Unpad ini.

Kritik terhadap Proses Pengambilan Keputusan

Meskipun manfaat BRICS tampak signikan, kritik terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah Indonesia tetap ada. Irman Gurmilang Lanti, staf pengajar Politik Luar Negeri, di Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, menilai kebijakan ini diambil tanpa diskusi publik yang memadai. Menurutnya, perdebatan justru muncul setelah Indonesia melamar sebagai anggota BRICS. “(Mahluk) Apa ini? Untung ruginya baru dibahas. Ini jadi terbalik, ibaratnya bukan ‘kuda menarik kereta, tapi kereta menarik kuda’, artinya keputusan diumumkan sebelum analisis mendalam dilakukan,” papar Irman.

Sebelum ke BRICS, Indonesia di era Presiden Jokowi tengah melamar ke OECD. Namun belum ada kejelasan status, tiba-tiba Indonesia di bawah Prabowo melamar ke BRICS dan disetujui. Jika diharuskan memilih antara BRICS dan OECD, bila ingin bertahan di tengah perekonomian global yang semakin keras persaingannya, maka menurut Irman, Indonesia lebih cocok bergabung dengan OECD karena status ini dapat meningkatkan reputasi ekonomi Indonesia di mata dunia.

“Keanggotaan OECD akan menaikkan peringkat kredit dan membuat investor lebih percaya bahwa uang mereka aman di Indonesia,” tegas Irman Gurmilang Lanti yang selama belasan tahun menjadi ahli ekonomi politik di badan-badan PBB.

Irman juga mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi global, terutama di bawah pengaruh Amerika Serikat, dapat berdampak langsung pada negara-negara BRICS. Ia mempertanyakan kekuatan ekonomi Indonesia menghadapi dampak tarif perdagangan yang mungkin diberlakukan AS di era Presiden Donald Trump terhadap BRICS.

Pentingnya Sosialisasi dan Strategi Jangka Panjang

Staf pengajar Hubungan Internasional Unpad Teuku Rezasyah menekankan pentingnya sosialisasi yang baik agar manfaat keanggotaan BRICS dipahami semua pihak. Ia mengusulkan pendekatan yang mencakup penyamaan paradigma dan pemikiran. “Untuk menjadi isu nasional, thought level-nya harus sama di pemerintah, lembaga negara, kementerian. Rumuskan semua dalam konstelasi strategis dengan penjabaran yang tepat,” tutur Teuku Rezasyah.

Reza menilai BRICS saat ini cocok dengan karakter Indonesia yang memperjuangan kerja sama Selatan-Selatan atau Global South. Dalam karakter ini, kata Reza, Indonesia bisa ikut menentukan reformasi PBB, khususnya dalam berbagai keputusan untuk isu penting yang seringkali didominasi Barat dan mendapat veto. Anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menjadi tulang punggung PBB, seringkali tak sepaham dengan sejumlah isu yang tak menguntungkan Barat. Tantangan utama Indonesia sebagai anggota BRICS adalah memastikan keseimbangan dalam hubungan dengan negara-negara Barat.

Diskusi publik bertajuk “BRICS: Menakar Langkah Indonesia” ini merupakan kegiatan kick o dari rangkaian diskusi publik berwawasan akademik yang akan digelar secara rutin oleh Ikatan Alumni Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (IKAHI Unpad). Kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi alumni, tetapi juga bagi institusi pendidikan, serta masyarakat luas.

Saat menutup gelaran diskusi publik ini, Raja Syamsurizal, Ketua Umum IKAHI Unpad menyatakan harapannya bahwa dengan kegiatan ini menunjukkan alumni dan almamater dapat terus aktif berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. “Diskusi publik ini menjadi wadah bagi alumni dari berbagai angkatan dan latar belakang profesi untuk berinteraksi, berbagi pengetahuan, dan memperkuat jejaring. Alumni yang telah berkarier di berbagai bidang dapat berbagi pengalaman dan wawasan mereka dengan sesama alumni dan masyarakat umum. Diskusi ini menjadi forum untuk menyebarkan ide-ide inovatif dan solusi atas berbagai permasalahan masyarakat,” pungkas Raja Syamsurizal.

Baca Juga: Gabung BRICS, Indonesia Bisa Impor Minyak dari Rusia

Selanjutnya: BTN Bersih-Bersih Developer Nakal Agar Program Tiga Juta Rumah Tepat Sasaran

Menarik Dibaca: Hujan Petir Landa Daerah Ini, Berikut Prakiraan Cuaca Besok (22/1) di Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Release Terkini


2025 © Kontan.co.id A subsidiary of KG Media. All Rights Reserved