December
24
2025
     17:42

GAGASAN: Mengelola Persepsi Publik di Era Keputusan Berani

GAGASAN: Mengelola Persepsi Publik di Era Keputusan Berani
ILUSTRASI. Suasana koridor Jalan Prof Dr Satrio di Jakarta, Rabu (15/1/2025). Posisi utang pemerintah per November 2024 mencapai Rp 8.680,13 triliun. Rasio utang tersebut terhadap PDB 39,20%. Adapun, batas aman rasio utang terhadap PDB adalah 60%, sesuai dengan Undang-Undang tentang Keuangan Negara. Kemenkeu menilai profil jatuh tempo utang pemerintah per November 2024 terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo di 8,01 tahun. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)]

Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal

KONTAN.CO.ID - Oleh: Ujang Komaruddin, Pakar Politik, Pendiri Literasi Politik Indonesia (LPI)

Tahun 2025 menandai perubahan penting dalam cara negara memosisikan dirinya di hadapan publik. Bukan semata karena banyaknya kebijakan baru, melainkan karena keberanian pemerintah untuk menyentuh praktik-praktik lama yang selama ini dibiarkan. Dalam politik pemerintahan, ini bukan fase yang nyaman. Keputusan-keputusan berani hampir selalu memunculkan resistensi, perdebatan, bahkan kecurigaan. Namun justru dari sanalah persepsi publik mulai dibentuk.

Jika harus diberi label, 2025 dapat dibaca sebagai tahun negara membela kepentingan publik secara terbuka. Salah satu contohnya adalah sikap pemerintah dalam melindungi konsumen. Isu kualitas minyak goreng, beras, dan BBM yang selama ini beredar di ruang publik akhirnya ditangani secara langsung dan terang-benderang. Praktik oplosan yang merugikan masyarakat tidak lagi ditutup dengan bahasa teknis atau diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Presiden sendiri membuka kasus-kasus ini ke ruang publik, sebuah langkah politik yang jarang dilakukan, karena berisiko mengguncang kepercayaan sekaligus menantang kepentingan ekonomi besar.

Dari perspektif persepsi publik, langkah ini penting. Publik tidak hanya melihat negara bekerja, tetapi melihat negara berpihak. Dalam politik sehari-hari, keberpihakan semacam ini jauh lebih mudah ditangkap masyarakat dibandingkan indikator makro atau laporan kinerja birokrasi.

Keberanian yang sama terlihat dalam penegakan hukum lingkungan dan sumber daya alam. Penyitaan sekitar empat juta hektare lahan sawit ilegal di sekitar kawasan hutan, penertiban di wilayah sensitif seperti Raja Ampat, serta pembongkaran sekitar seribu tambang ilegal menunjukkan bahwa negara tidak lagi nyaman dengan kompromi lama. Semua ini berpuncak pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, yang menjadi fondasi penegakan hukum lintas sektor.

Dalam kacamata politik, ini adalah upaya memulihkan wibawa negara. Namun dalam kacamata persepsi publik, langkah ini juga berisiko. Penegakan hukum yang tegas bisa dipersepsikan sebagai keberanian, tetapi juga bisa dibaca sebagai ancaman oleh sebagian kelompok. Karena itu, cara negara mengomunikasikan dan menindaklanjuti kebijakan ini menjadi sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.

Tahun 2025 juga dapat disebut sebagai tahun comeback Indonesia di panggung internasional. Kehadiran Presiden dalam defile militer di Prancis pada Januari, peran aktif di Sidang Umum PBB, hingga tawaran Indonesia untuk terlibat dalam resolusi perdamaian Gaza menandai kembalinya Indonesia sebagai aktor yang percaya diri. Bagi publik domestik, simbol-simbol ini memiliki arti politik: Indonesia kembali diperhitungkan, tidak sekadar hadir sebagai pelengkap forum global.

Di bidang ekonomi, 2025 pantas disebut sebagai year of the deals. Negosiasi dan kesepakatan dagang—mulai dari EU–CEPA, pembicaraan dengan Amerika Serikat, Kanada, dan Eurasia, hingga penguatan local currency settlement dengan RMB—menunjukkan pendekatan ekonomi luar negeri yang pragmatis. Integrasi QRIS lintas negara bahkan langsung dirasakan masyarakat, karena menyentuh aktivitas ekonomi sehari-hari. Di sini, persepsi publik dibentuk bukan oleh jargon geopolitik, melainkan oleh kemudahan konkret yang dirasakan.

Tak kalah sensitif adalah keputusan pemerintah dalam memberikan abolisi dan amnesti kepada sejumlah pihak yang dinilai mengalami kriminalisasi. Kebijakan ini memang debatable, dan perdebatan itu sah dalam demokrasi. Namun secara politik, langkah ini mengirim pesan bahwa negara bersedia mengoreksi proses hukum yang dipersepsikan tidak adil. Bagi sebagian publik, ini adalah keberanian moral; bagi sebagian lain, ini memicu tanya. Sekali lagi, persepsi menjadi medan utama.

Di titik inilah pergeseran menuju 2026 menjadi krusial. Jika 2025 adalah tahun keputusan berani, maka 2026 harus menjadi tahun responsivitas dan pemenuhan janji. Publik yang telah melihat ketegasan negara akan beralih dari fase apresiasi ke fase evaluasi.

Responsivitas pemerintah pada 2026 justru akan diuji lewat hal-hal yang tampak kecil, tetapi simbolik. Ketika masyarakat menyuarakan ketidaknyamanan terhadap sirine pengawalan pejabat atau gaya konvoi yang berlebihan—yang sering disebut dengan istilah “tot-tot wuk-wuk”—yang dipertaruhkan bukan sekadar etika berlalu lintas. Yang diuji adalah apakah negara mau mendengar kegelisahan warga dan menyesuaikan gaya kekuasaan.

Selain soal simbol dan gaya, 2026 adalah tahun pembuktian janji program prioritas. Program Makan Bergizi Gratis telah berjalan luas pada 2025, tetapi belum sepenuhnya mencapai target penerima manfaat. Pemerintah menyatakan target itu akan dipenuhi pada Juni 2026. Bagi publik, tenggat ini bukan lagi narasi, melainkan janji konkret yang bisa diverifikasi.

Hal yang sama berlaku pada Koperasi Desa Merah Putih yang masih terus dibangun—serta renovasi ruang kelas sekolah yang kuotanya dinaikkan menjadi 60 ribu. Program-program ini akan membentuk persepsi publik jauh lebih kuat daripada pernyataan politik apa pun.

Mengelola persepsi publik di era keputusan berani berarti memahami satu hal sederhana: ketegasan membuka perhatian, tetapi responsivitas dan pemenuhan janji membangun kepercayaan. Jika 2026 mampu menjawab tuntutan-tuntutan konkret masyarakat dan menuntaskan program prioritas, maka keberanian 2025 akan dikenang bukan sebagai kegaduhan politik, melainkan sebagai titik balik relasi negara dan rakyat.

Selanjutnya: Jelang Nataru, DPR Imbau Stabilitas Harga Tetap Terjaga di Tengah Daya Beli Meningkat

Menarik Dibaca: 6 Makanan Tinggi Protein yang Bisa Turunkan Gula Darah Tinggi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Release Terkini


2025 © Kontan.co.id A subsidiary of KG Media. All Rights Reserved