3 Bulan Pembelajaran Jarak Jauh, Zenius Bantu Siswa Berikan Apresiasi Atas Perjuangan Gurunya

Jakarta, 10 Juni 2020 - Proses belajar-mengajar tatap muka di ruang kelas yang kini menjadi pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan internet, menciptakan banyak cerita dan pengalaman baru, termasuk di antara para siswa yang saat ini telah menjalaninya selama tiga bulan terakhir. Dari berbagai penjuru Indonesia, Zenius mendapati banyak siswa ternyata merindukan interaksi langsung dengan gurunya. Interaksi lewat layar telepon pintar atau komputer ternyata membuat para siswa ini menyadari bahwa kehadiran guru dalam hidup mereka ternyata lebih dari sekedar pengajar materi saja.
Memahami bahwa jauh di atas kecanggihan teknologi, kehadiran guru sebagai panutan dan pembimbing karakter tidaklah dapat digantikan, Zenius, yang merupakan pionir edtech di Indonesia, mengajak para siswa bercerita mengenai inovasi dan dedikasi guru yang memberikan inspirasi dan semangat bagi mereka selama masa pembelajaran jarak jauh ini, melalui digital campaign #THRUntukGuru.
Amanda Witdarmono, Chief of Teachers Initiatives Zenius Education, mengatakan, “Kami melihat bahwa selama masa pembelajaran jarak jauh ini, peranan para guru tetap menjadi sesuatu yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Di saat mereka tidak dapat bertatap muka dengan para siswanya, guru dituntut untuk memberikan inovasi dan berdedikasi untuk tetap memberikan atensi yang penuh kepada siswanya meski dengan cara komunikasi yang berbeda. Kami mengadakan kontes ini dengan misi untuk memperlihatkan dan menyebarkan awareness terhadap inovasi dan dedikasi yang diberikan para guru di masa yang sulit ini, dari sudut pandang siswa mereka.”
Salah satu cerita yang paling menarik, yang juga merupakan pemenang dari kontes yang berbasis pada media sosial ini datang dari Izzan Faruqy Azzahir, siswa kelas satu SMA/MA di Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Garut, Jawa Barat. Izzan membagikan kisah dari salah satu gurunya yang telah ia anggap sebagai sosok “orang tua pengganti” selama tinggal di Pesantren. Melalui postingannya di Instagram, Izzan bercerita mengenai sosok Nia Kurniawati, yang biasa dipanggil Ibu Nia, guru mata pelajaran Kimia di SMA/MA Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Garut.
“Jujur, sepanjang masa pandemi saya merasa sulit untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran, terlebih dengan sistem pembelajaran daring yang dinilai jauh dari kata efektif. Ingin rasanya protes tentang hal ini, tetapi hal itu seolah terkubur ketika mendengar cerita salah satu guru saya, yaitu Ibu Nia. Beliau tentunya tidak akan pernah menyangka pembelajaran akan dilaksanakan secara daring. Dan ternyata itu semua terjadi sekarang sehingga mau tak mau beliau harus beradaptasi dengan realitas yang terjadi. Banyak kendala yang terjadi ketika beliau melangsungkan pembelajaran, mulai dari; koneksi internet yang tidak stabil, candaan siswa/i ketika pembelajaran berlangsung dan koneksi hati yang terbatasi. Tetapi, beliau kerjakan semua itu tanpa keluh kesah, dan tetap bertekad bulat untuk menyampaikan materi pembelajaran dengan maksimal,” ujar Izzan.
Bagi Izzan, sosok guru seperti Ibu Nia memberikan pengajaran yang baik baginya dan teman-temannya dengan memberi contoh. Kesabaran dan perhatian yang Ibu Nia tunjukkan baik pada masa sebelum PSBB maupun selama proses pembelajaran jarak jauh, menarik kesadaran dari dirinya untuk lebih mau terlibat dalam proses belajar itu sendiri. “Ibu Nia telah menjadi sosok ‘Ibu’ bagi saya dan teman-teman, sebagai tempat berkeluh kesah, tidak hanya mengenai pelajaran tapi juga untuk masalah yang saya hadapi di sekolah,” ujarnya.
Guru Juga Mau Belajar dan Beradaptasi Demi Kepentingan Anak Didiknya
Nia Kurniawati telah mengajar sejak tahun 2012, bahkan saat masih berkuliah di tahun pertama Jurusan Pendidikan Kimia di UIN Bandung. Ia mengakui, bahwa sebelum memilih kampus, hatinya sudah mantap untuk menjadi guru.
“Ketika pandemi ini datang, sistem belajar-mengajar pun ikut berubah secara mendadak. Awalnya saya lumayan mengalami kesulitan untuk beradaptasi ke cara mengajar dari jarak jauh seperti ini. Terlebih, saya memiliki kurang lebih 70 siswa yang harus saya ajar setiap harinya dan saya harus membagi waktu juga untuk mengawasi anak saya yang masih balita di rumah. Karena itu terkadang saya baru bisa live streaming jam 8 atau jam 9 malam.” ungkap Ibu Nia.
Inovasi dan adaptasi menjadi kunci baginya agar dapat membangkitkan semangat dan gairah belajar anak didiknya. “Agar belajar tidak melulu menjelaskan teori dan membuat para siswa bosan, saya sebagai guru kimia berinisiatif untuk menjalankan salah satu materi praktikum berupa tutorial membuat hand sanitizer. Respon para siswa lumayan baik dan mereka sangat antusias mengikuti praktikum saya. ” ujar Ibu Nia.